Berawal Jual Beli Kerbau Menyambut Bulan Suci Ramadhan, Cerita Tradisi Pesta Tapai di Batu Bara


BATU BARA | jelajahsumut.com, Kabupaten Batu Bara memang dikenal masih kental dengan Kebudayaan Melayu. Kabupaten yang mekar dari Asahan pada tahun 2007 silam ini meninggalkan banyak kebudayaan.

Seperti Pesta Tapai di Dusun Pesta Tapai, Desa Dahari Silebar, Kecamatan Talawi, yang sudah ada sejak jaman penjajahan kolonial Belanda.

Pesta Tapai sendiri dahulunya bermula saat kerajaan Asahan masih melakukan transaksi kerbau. Berawal saat jual beli daging kerbau saat menyambut bulan suci Ramadan. Sehingga Desa ini dijadikan sebagai pusat perdagangan daging kerbau.

"Awal mulanya, karena mau punggahan para pedagang mau menceritakan dimana mau beli kerbau. Dasarnya dari situ, maka pedagang ngumpul di satu warung. Kemudian di tahun kedepannya, karena banyak pedagang lain datang, masyarakat membuka warung lainnya," sebut salah satu pedagang sebut saja wak Roni. 

Dari itu, masyarakat mencoba keberuntungan dengan berdagang makanan khas melayu lemang dan tapai. Namun, dari percobaan tersebut ternyata para pedagang kerbau tersebut merasa suka dan menggemari makanan khas melayu tersebut.

"Kenapa tapai dan lemang? Karena ini makanan khas melayu. Jadi kalau sudah datang pedagang, yang diminta itu lemang dan tapai," katanya.

Akibat dari hal tersebut, banyak pedagang yang ikut mencoba keberuntungan dan membuka warungnya masing-masing sehingga saat ini sudah ada lebih 100 pedagang lemang dan tapai di Pesta Tapai.

Namun, saat ini banyak pedagang yang menambahkan menu khas melayu lainnya di pesta tapai, mulai dari dodol, selai srikaya, hingga rendang serai kepah. 

Untuk bukanya, disini mulai pukul 04.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB, dengan pembeli yang berasal dari luar daerah. Namun kegiatan ini hanya dilakukan 22 hari sebelum bulan Ramadan, dan tutup dua hari sebelum puasa pertama," katanya.

Selain budaya, di Pesta Tapai setiap tahunnya memiliki cerita mistis yang cukup membikin bulu kuduk merinding, Pasalnya tidak semua pembeli di pesta tapai manusia yang kasat mata. Pembeli bukan Manusia. 

Sebab, menurut salah satu ceritanya, setiap tahun memang ada kasus yang menceritakan bahwa ada pembeli dari kaum bunian.

Hanum salah satu pedagang menceritakan, yang membedakan manusia dengan kaum bunian pada perawakannya yang cukup aneh. "Kalau kaum bunian yang membeli, mereka tidak ada menawar dan selalu menundukan kepalanya. Seperti naik ojek dari simpang, biasanya Rp 5 ribu, namun mereka mau membayar hingga Rp 20 ribu tanpa menawar," katanya.

Ia menceritakan, beberapa tahun lalu, ada satu mobil penumpang yang membawa rombongan bunian yang khusus turun di pesta tapai.

"Supir mopennya juga mengakui bahwa mereka memang berbeda dengan manusia, karena kaum bunian tersebut terlihat tidak terlalu meriah dalam pesta tapai, namun selalu ada setiap tahunnya," jelasnya.

Hal tersebut diperkuat dengan lakunya seluruh dagangan para pedagang yang berjualan di sepanjang jalan Desa Dahari Selebar. 

Namun, menurut seorang pedagang, Angah saat dijumpai mengaku belum pernah melihat dan menjumpai warga bunian yang di ceritakan oleh para pedagang lainnya.

"Kalau saya tidak pernah melihat dan menjumpai bunian, namun dari pedagang lain saya tidak tau," kata wanita yang berjualan di pesta tapai sejak 30 tahun lalu.

Ia mengaku, lakunya dagangan para pedagang disebabkan karena kualitas rasa yang nikmat dan harga yang murah.

"Saya rasa karena rasa ya, kemudian harga yang cukup murah. Karena satu lemang saat ini dijual dengan harga Rp 15 - 20 ribu, tapai dijual dengan harga seribu rupiah, dan rendang serai kopah masih dibandrol harga Rp 10 ribu," katanya, (Red).